Dari hasil googling, penulis menemukan peluang yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam menjaga undang-undang No. 28 tahun 1999 yaitu tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, Bab V pasal 8 dan pasal 9 secara terbuka bicara tentang peran seta masyarakat. Selain itu juga pada pasal 1 ayat 3 , undang-undang No. 37 tahun 2008, menyebutkan Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Apa yang bisa kita ambil manfa'at dari sini adalah, secara hukum dan kelembagaan peran serta masyarakat unutk mengawasi peneyelenggara negara merupakan sebuah keharusan dimana fasilitas serta instrumentnya telah disediakan. Apa yang terjadi pada SK walikota Tagerang Selatan No.590/KEP.217-HUK/2012 memiliki indikasi maladministrasi dan sebagai bentuk partisipasi masyarakat hal ini mesti dikoreksi, sehingga kedepannya tidak terjadi tindakan kesewenang-wenangan. Dimana sudah menjadi keseharian kita melihat ketidak adilan mengatasnamakan negara dan penyelenggara negara sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan dari wewenang yang mereka miliki. Pada tahap selanjutnya, kesadaran kita akan hak dan kewajiban yang selama ini merupakan basis bernegara dibawah payung Pancasila dan UUD 1945, rasanya akan memberikan tempat yang layak pada rasa keadilan kita. Lalu pertanyaannya sudah seberapa sadar kita akan keberadaan lembaga seperti Ombudsma dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pusat Informasi Mandiri Masyarakat Korban Jalan TOL Serpong-Cinere
4/05/2013
3/20/2013
Ambiguitas SK Walikota Tangerang selatan No.590/KEP.217-HUK/2012
Mungkin kita bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan surat keputusan yang diterbitkan oleh walikota tangerang selatan terkait pembentukan panitia pengadaan tanah untuk jalan TOL Cinere-Serpong, yang direncanakan akan menggusur, setidaknya 958 rumah. Dimana ada tiga perumahan yaitu Pertanian, Andora dan Azzahra menolak untuk dilalui jalan TOL tersebut. Hal yang mendasar, dan perlu kita ketahui adalah, Indonesia adalah negara hukum dimana aparatur pemerintah yang ditunjuk harus bekerja berdasarkan aturan yang jelas dan tegas. Nah pada kasus surat keputusan walikota Tangerang Selatan No.590/KEP.217-HUK/2012, mengindikasikan ketidakjelasan payung hukum yang digunakan dan menabrak tata aturan yang ada, dan pada akhirnya akan berdampak pada penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah yang ditunjuk dan menimbulkan ketidakpatian hukum. pada tulisan pendek kali ini, penulis ingin mengulas penggunaan peraturan presiden No. 36 tahun 2005 yang telah diubah dengan Peratutan Presiden No. 65 tahun 2006 sebagai landasan dan secara bersamaan mengabaikan Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012. Menurut alur waktu, surat Keputusan Walikota Tanggerang Selatan No.590/KEP.217-HUK/2012 sendiri terbit pada 2 oktober 2012. Sementara peraturan presiden No. 71 tahun 2012 disahkan pada 7 Agustus 2012. Lalu pertanyaanya kenapa dalam upaya pengadaan tanah untuk jalan TOL Cinere-Serpong, landasan peraturan presiden No. 36 tahun 2005 yang telah diubah dengan peratutan presiden No. 65 tahun 2006 yang digunakan, dan notabene nilai dasar perhitungan ganti rugi adalah:
“Pasal 15
(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
d. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
e. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
f. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
(2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.”
Sementara jika kita merujuk pada Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012 berbunyi:
Nah, Jika dilihat sekilas ini mungkin tidak berpengaruh apa-apa pada persepsi kita, apalagi jika berkaca pada kasus-kasus tanah yang berurusan dengan kepentingan publik dan atas nama pemerintah. Tapi Jika diperhatikan dengan sekasama ini sangat berpengaruh pada bagaimana prosesi ganti kerugian yang akan terjadi. Apakah akan mengarah pada proses pemiskinan gaya baru atau mengembalikan hak perdata pemilik tanah dengan nilai yang wajar dan masuk akal sehingga keadilan memang berdiri tegak di negeri ini.
Sumber foto: http://rangselbudi.wordpress.com
Langganan:
Postingan (Atom)